Senin, 07 Maret 2016



Ciri khas dan komersial kaum maba adalah semangat mereka dalam mencoba-coba apa yang tidak mereka ketahui. Semangat seperti itu pernah saya sendiri alami ketika proses awal menjadi kaum mahasiswa baru. Ya namanya saja baru, jadi apa-apa ya baru. Baru tahu, baru pengen, baru coba-coba, baru mencari, baru semangat-semangatnya. ya dalam kebaru-baruan semacam ini sebenarnya kalau kita tidak mempersiapkan peta arah kemana kita berjalan dan untuk apa kita berjalan, ada kemungkinan kita akan terperosot ataupun nyasar. Bahkan dalam kondisi yang serba kebaru-baruan ini yang kita lakukan justru bukanlah berjalan, tetapi berjalan-jalan, yang sejatinya berjalan itu berbeda dengan berjalan-jalan. Kalau mengambil istilah jawa “Ngepit iku udu pit pitan, turu bedo ro teturon” atau pun “mlaku bedo ro mlaku-mlaku”.Menurut rasional saya berjalan itu terminologinya lebih serius dan sakral dibanding dengan berjalan-jalan ataupun ria gembira berjalan bersama teman-teman. Analoginya kalau kita belum mengerti bagaimana cara berjalan, maka ia tidak tahu apa itu berjalan. Dan karena ketidaktahuan kitalah, bisa jadi mau tidak mau kita selalu di tuntun supaya bisa tahu yang namanya berjalan. Adakah kemungkinan sesuatu yg sedang menuntun kita itu dengan sengaja memanfaatkan kita demi suatu kepentingan-kepentingan yang kita sendiri tidak tahu? Atau digiring untuk jatuh berulang-ulang dalam lubang yang usang dan selalu sama. Entah apa itu namanya, namun disini kita tidak dibiasakan untuk berfikir buruk terhadap segala sesuatu. Ideologi yg kita dapat mengajarkan untuk mencari kebaikan-kebaikan didalam keburukan.
Menurut kabar burung, Mahasiswa yang dengan ketidakpekaannya dan ketidakwaspadaannya memposisikan dirinya sebagai objek percobaan, objek buruan tanpa ia sadari dan yang mereka ketahui hanyalah tidak jauh berbeda dibandingkan bayi dan anak-anak. Berapapun usia bayi dan apapun jabatan anak-anak itu, mereka hanya sanggup melakukan yang ia senangi dan selalu menghindar dari yang tak ia sukai tanpa tahu bagaimana memaknai apa yang ada di depan mereka, sehingga mudah disandera dengan sihir kata-kata, gambar, warna dan bunyi. Ditelan oleh egosentris dan kesepihakan dan bahkan rela untuk tunduk pada formula-formula kepentingan yang canggih dari banyak sistem. Selebritis lokal atau pun toko-toko yang bermerek. Kalau untuk kaum yang dipandang masyarakat memiliki daya juang yang tinggi dengan pemikiran yang obyektif, apa mungkin itu terjadi? Dan kalaupun itu terjadi. Saya tidak berani menyebut mereka adalah mahasiswa. Dilihat dari ilmu yg di didapat dan kenyataan yg terjadi,saya lebih senang menyebutnya bukan sebagai mahasiswa, tetapi sebagai mangsa (subyek yang di obyekan sebagai buruan atau sasaran panah) karena dilihat dari segi nilaipun sudah bukan mahasiswa lagi. Kita ambil contoh, mengenai dedikasi atau pengabdian, sekarang mereka benar-benar tidak ngerti tentang ini-itu.
Mereka bisa mengatakan dedikasi adalah mencurahkan tenaga, pikiran, waktu, demi tercapainya tujuan yg bersifat mulia. Tetapi, hati dan pikiran mereka tidak untuk itu. Mereka tidak setia untuk berproses dalam jangka lama, yang ada di kepala mereka hanyalah ingin cepat-cepat sampai ke garis finis tanpa mampu menikmati setiap proses yang dialami. Mereka seakan-akan terpaksa. Padahal, dedikasi adalah pekerjaan yg sesuai dengan “sreg”nya hati, sesuai dengan minat bakat yang memiliki tujuan. Kalau toh mereka punya tujuan, itu pun hanya bersenang-senang. Mereka akan tidak tahan “menitikkan air di ats batu” untuk sekian lama hingga batu terlubangi. Maunya sekali dua tetes, batu langsung berlubang.
Nafas pergerakannya merupakan nafas lari jarak pendek, dan bukan nafas panjang lari marathon. Lantas kalau itu yangterjadi pada mereka (kaum mangsa baru), apa yang menyebabkan mereka seperti itu? Dalam konstruksi berfikir yang objektif, kita dibiasakan mencari bukan siapa yang benar, tapi apa yg salah? Kampus sebagai Centre of excellent, mahasiswa sebagai Agent of change, Agent of modernization, adalah sebutansebutan romantis mahasiswa yang populer pada tahun 1970–1980-an. Sebutan-sebutan seperti itu membius pemikirannya yang menempatkan mahasiswa seolah-olah berada pada titik peran sentral perubahan politik dari jaman ke jaman. Idealisme yang tinggi di usia muda memudahkan mereka tersihir oleh sebutan-sebutan yang menyanjungnya setinggi langit. Kalau disini dibahas mengenai apa yang salah, jelaslah akan tidak ada habisnya karena suatu kesalahan berasal dari kesalahan sebelumnya. Kalau kesalahan sebelumnya sudah diketahui, mau tidak mau kita harus terus mencari akar dari kesalahan-kesalahan itu untuk memproleh data-data yang bisa diambil kesimpulan dalam proses mencari kebenaran. Ini tidak akan ada habisnya, sedangkan kolom rubrik ini di batasi jumlahnya.
Bukannya saya terlalu cepat menyimpulkan, lalu mencari-cari alasan, tetapi saya belajar dari matematikawan bahwa mereka bukan orang yang menemukan kesimpulan lalu kemudian mencari alasan-alasan untuk membenarkan kesimpulan tadi. Orang matematika adalah mncari data untuk mendapat kesimpulan. Dan data yang saya yakini tidak muat jika ditulis disini. Tetapi pada intinya, kalau kita mau berubah agar tidak jadi maba, secepatnya jangan mau jadi maba. Kalau mau indonesia maju, jangan ditunggu, karena kalau ditunggu tidak akan maju-maju. Tetapi anda sendiri yang harus maju supaya kelak anda menjadi orang yg membangunkan indonesia dari tidurnya untuk kemudian bangkit. Jangan mau jadi maba (mangsa baru)! Anda sebagai mahasiswa baru setelah ini hendaklah menjadi manusia-manusia baru. Jangan mau jadi follower generation. Jadilah flower generation seperti yang di katakan rendra. Jangan menjadikan diri anda gampang masuk arus oleh perbedan-perbedaan yang sebenarnya untuk anda kenali bersama. Jangan mau jadi orang yang antara sebab akibatnya memiliki jarak sangat pendek. Yang dilakukan hari ini hanyalah untuk besok bahkan untuk jam-jam setelah sebab dilakukan. Makin jarang orang mau bersusah payah untuk sebuah akibat berpuluh-puluh tahun mendatang, apalagi untuk lintas generasinya.
Engkau adalah mahasiswa yang amat dinanti-nanti kehadiranmu ditengah masyarakat yang kelak menjadi tempat engkau mengabdi bagi bangsamu. Jangan permalukan dirimu lantaran masih mau menjadi maba bangsa lain. Apa jadinya jika keberanianmu untuk menanam dan menunggu panen yang dimiliki generasi sekarang amat sangat “ciyut nyali”? Apalagi keberanian untuk menanam tanpa memanen, maksudnya adalah biar anak cucumu kelak yang menikmati. Kita harus menyiapkan diri supaya tidak termakan , karena semakin transparan bentuk pembodohan. Semakin kita tidak canggih semakin kita tidak tahu arah untuk menghadap, penjajahan, dan kita semakin tidak tahu akumulasi kebohongan dan kepalsuan.
Budaya “eling lan waspada” bukan suatu bentuk yang asing. Tetapi itu jati diri kita. Kita baca, kita pelajari, karena pada tahap ini peperangan di hati kita masih pada level diri dan bangsa sendiri (teman dan saudara kita) agar kepekaan kita berkembang, segala macam manipulasi, tipu daya dan dis-informasi yang sasaran ledaknya adalah pembodohan absolut dan keterjajahan total telah kita rumuskan secara bertahap untuk kita antisipasi. Dalam konteks mahasiswa dan ruang segi empatnya (keilmuan, aktivisme,perjuangan politik dan intelektualisme) Pola hidup yang tidak produktif untuk segera di kurangi bahkan dirubah, karena mahasiswa seharusnya sudah memiliki kesadaran politik untuk tidak mudah dibohongi dan dipengaruhi oleh anak-anak dimasukkan. Terlepas dari itu semua, mahasiswa semakin galau mengenai waktu dan bagaimana pelaksanaan Pemilwa mendatang. Mahasiswa menunggu kejelasan waktu dan pelaksanaan Perihal Pemilwa yang akan dilaksanakan.
Oleh ZH Ash*
*Kader HMI Komisariat Fakultas Tarbiyah

0 komentar:

Posting Komentar