Ciri
khas dan komersial kaum maba adalah semangat mereka dalam mencoba-coba apa yang
tidak mereka ketahui. Semangat seperti itu pernah saya sendiri alami ketika
proses awal menjadi kaum mahasiswa baru. Ya namanya saja baru, jadi apa-apa ya baru.
Baru tahu, baru pengen, baru coba-coba, baru mencari, baru
semangat-semangatnya. ya dalam kebaru-baruan semacam ini sebenarnya kalau kita
tidak mempersiapkan peta arah kemana kita berjalan dan untuk apa kita berjalan,
ada kemungkinan kita akan terperosot ataupun nyasar. Bahkan dalam kondisi yang
serba kebaru-baruan ini yang kita lakukan justru bukanlah berjalan, tetapi
berjalan-jalan, yang sejatinya berjalan itu berbeda dengan berjalan-jalan.
Kalau mengambil istilah jawa “Ngepit iku udu pit pitan, turu bedo ro
teturon” atau pun “mlaku bedo ro mlaku-mlaku”.Menurut
rasional saya berjalan itu terminologinya lebih serius dan sakral dibanding dengan
berjalan-jalan ataupun ria gembira berjalan bersama teman-teman. Analoginya
kalau kita belum mengerti bagaimana cara berjalan, maka ia tidak tahu apa itu
berjalan. Dan karena ketidaktahuan kitalah, bisa jadi mau tidak mau kita selalu
di tuntun supaya bisa tahu yang namanya berjalan. Adakah kemungkinan sesuatu yg
sedang menuntun kita itu dengan sengaja memanfaatkan kita demi suatu kepentingan-kepentingan
yang kita sendiri tidak tahu? Atau digiring untuk jatuh berulang-ulang dalam lubang
yang usang dan selalu sama. Entah apa itu namanya, namun disini kita tidak
dibiasakan untuk berfikir buruk terhadap segala sesuatu. Ideologi yg kita dapat
mengajarkan untuk mencari kebaikan-kebaikan didalam keburukan.
Menurut
kabar burung, Mahasiswa yang dengan ketidakpekaannya dan ketidakwaspadaannya
memposisikan dirinya sebagai objek percobaan, objek buruan tanpa ia sadari dan
yang mereka ketahui hanyalah tidak jauh berbeda dibandingkan bayi dan anak-anak.
Berapapun usia bayi dan apapun jabatan anak-anak itu, mereka hanya sanggup
melakukan yang ia senangi dan selalu menghindar dari yang tak ia sukai tanpa
tahu bagaimana memaknai apa yang ada di depan mereka, sehingga mudah disandera
dengan sihir kata-kata, gambar, warna dan bunyi. Ditelan oleh egosentris dan kesepihakan
dan bahkan rela untuk tunduk pada formula-formula kepentingan yang canggih dari
banyak sistem. Selebritis lokal atau pun toko-toko yang bermerek. Kalau untuk
kaum yang dipandang masyarakat memiliki daya juang yang tinggi dengan pemikiran
yang obyektif, apa mungkin itu terjadi? Dan kalaupun itu terjadi. Saya tidak
berani menyebut mereka adalah mahasiswa. Dilihat dari ilmu yg di didapat dan
kenyataan yg terjadi,saya lebih senang menyebutnya bukan sebagai mahasiswa,
tetapi sebagai mangsa (subyek yang di obyekan sebagai buruan atau sasaran
panah) karena dilihat dari segi nilaipun sudah bukan mahasiswa lagi. Kita ambil
contoh, mengenai dedikasi atau pengabdian, sekarang mereka benar-benar tidak
ngerti tentang ini-itu.
Mereka
bisa mengatakan dedikasi adalah mencurahkan tenaga, pikiran, waktu, demi tercapainya
tujuan yg bersifat mulia. Tetapi, hati dan pikiran mereka tidak untuk itu.
Mereka tidak setia untuk berproses dalam jangka lama, yang ada di kepala mereka
hanyalah ingin cepat-cepat sampai ke garis finis tanpa mampu menikmati setiap
proses yang dialami. Mereka seakan-akan terpaksa. Padahal, dedikasi adalah
pekerjaan yg sesuai dengan “sreg”nya hati, sesuai dengan minat bakat
yang memiliki tujuan. Kalau toh mereka punya tujuan, itu pun hanya
bersenang-senang. Mereka akan tidak tahan “menitikkan air di ats batu”
untuk sekian lama hingga batu terlubangi. Maunya sekali dua tetes, batu
langsung berlubang.
Nafas
pergerakannya merupakan nafas lari jarak pendek, dan bukan nafas panjang lari
marathon. Lantas kalau itu yangterjadi pada mereka (kaum mangsa baru), apa yang
menyebabkan mereka seperti itu? Dalam konstruksi berfikir yang objektif, kita
dibiasakan mencari bukan siapa yang benar, tapi apa yg salah? Kampus sebagai Centre
of excellent, mahasiswa sebagai Agent of change, Agent of modernization,
adalah sebutansebutan romantis mahasiswa yang populer pada tahun
1970–1980-an. Sebutan-sebutan seperti itu membius pemikirannya yang menempatkan
mahasiswa seolah-olah berada pada titik peran sentral perubahan politik dari
jaman ke jaman. Idealisme yang tinggi di usia muda memudahkan mereka tersihir
oleh sebutan-sebutan yang menyanjungnya setinggi langit. Kalau disini dibahas
mengenai apa yang salah, jelaslah akan tidak ada habisnya karena suatu
kesalahan berasal dari kesalahan sebelumnya. Kalau kesalahan sebelumnya sudah
diketahui, mau tidak mau kita harus terus mencari akar dari kesalahan-kesalahan
itu untuk memproleh data-data yang bisa diambil kesimpulan dalam proses mencari
kebenaran. Ini tidak akan ada habisnya, sedangkan kolom rubrik ini di batasi jumlahnya.
Bukannya
saya terlalu cepat menyimpulkan, lalu mencari-cari alasan, tetapi saya belajar
dari matematikawan bahwa mereka bukan orang yang menemukan kesimpulan lalu
kemudian mencari alasan-alasan untuk membenarkan kesimpulan tadi. Orang
matematika adalah mncari data untuk mendapat kesimpulan. Dan data yang saya yakini
tidak muat jika ditulis disini. Tetapi pada intinya, kalau kita mau berubah
agar tidak jadi maba, secepatnya jangan mau jadi maba. Kalau mau indonesia
maju, jangan ditunggu, karena kalau ditunggu tidak akan maju-maju. Tetapi anda sendiri
yang harus maju supaya kelak anda menjadi orang yg membangunkan indonesia dari tidurnya
untuk kemudian bangkit. Jangan mau jadi maba (mangsa baru)! Anda sebagai
mahasiswa baru setelah ini hendaklah menjadi manusia-manusia baru. Jangan mau jadi
follower generation. Jadilah flower generation seperti yang di katakan
rendra. Jangan menjadikan diri anda gampang masuk arus oleh perbedan-perbedaan yang
sebenarnya untuk anda kenali bersama. Jangan mau jadi orang yang antara sebab akibatnya
memiliki jarak sangat pendek. Yang dilakukan hari ini hanyalah untuk besok
bahkan untuk jam-jam setelah sebab dilakukan. Makin jarang orang mau bersusah payah
untuk sebuah akibat berpuluh-puluh tahun mendatang, apalagi untuk lintas
generasinya.
Engkau
adalah mahasiswa yang amat dinanti-nanti kehadiranmu ditengah masyarakat yang
kelak menjadi tempat engkau mengabdi bagi bangsamu. Jangan permalukan dirimu lantaran
masih mau menjadi maba bangsa lain. Apa jadinya jika keberanianmu untuk menanam
dan menunggu panen yang dimiliki generasi sekarang amat sangat “ciyut nyali”?
Apalagi keberanian untuk menanam tanpa memanen, maksudnya adalah biar anak cucumu
kelak yang menikmati. Kita harus menyiapkan diri supaya tidak termakan , karena
semakin transparan bentuk pembodohan. Semakin kita tidak canggih semakin kita
tidak tahu arah untuk menghadap, penjajahan, dan kita semakin tidak tahu
akumulasi kebohongan dan kepalsuan.
Budaya
“eling lan waspada” bukan suatu bentuk yang asing. Tetapi itu
jati diri kita. Kita baca, kita pelajari, karena pada tahap ini peperangan di
hati kita masih pada level diri dan bangsa sendiri (teman dan saudara kita) agar
kepekaan kita berkembang, segala macam manipulasi, tipu daya dan dis-informasi
yang sasaran ledaknya adalah pembodohan absolut dan keterjajahan total telah
kita rumuskan secara bertahap untuk kita antisipasi. Dalam konteks mahasiswa
dan ruang segi empatnya (keilmuan, aktivisme,perjuangan politik dan
intelektualisme) Pola hidup yang tidak produktif untuk segera di kurangi bahkan
dirubah, karena mahasiswa seharusnya sudah memiliki kesadaran politik untuk
tidak mudah dibohongi dan dipengaruhi oleh anak-anak dimasukkan. Terlepas dari
itu semua, mahasiswa semakin galau mengenai waktu dan bagaimana pelaksanaan
Pemilwa mendatang. Mahasiswa menunggu kejelasan waktu dan pelaksanaan Perihal
Pemilwa yang akan dilaksanakan.
*Kader HMI Komisariat Fakultas
Tarbiyah
0 komentar:
Posting Komentar