Kajian akan minoritas di bangsa ini tidak pernah
habisnya apalagi jika masuk keranah keyakinan sering berbuntut kerusuhan
misalnya dari masalah Ahmadiyah, Syiah hingga Gafatar dan lainnya. Fenomena
minoritas di Indonesia sangat banyak tidak hanya dalam kepercayaan atau
keyakinan namun juga budaya diataranya suku anak dalam di Sumatera, suku Asmat di
Papua, suku Dani di Wamena, suku Kubu di Jambi, bahkan juga minoritas dalam
seksualitas seperti waria dan seterusnya.
Secara konstitusi minoritas berhak hidup apalagi
dalam ranah keagamaan sebagaimna terungkap dalam UUD 1945 pasal 29 menegaskan
akan hal itu namun secara sosial kemasyarakatan ternyata kebalikannya misalnya kejadian
dengan kerusuhan yang menimpa komunitas Gafatar di Moton, Mempawah, Kalimantan
Barat, demikian pula dengan Syiah di Sampang dan Bangil Jawa Timur serta yang
masih terus dalam ingatan kita yang menimpa warga Ahmadiyah di Cikeusik,
Pandeglang Banten. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mungkin
konstitusi yang identik dengan identitas suatu bangsa justru terus dan terus
dilanggar oleh bangsanya sendiri. Tulisan singkat ini memberikan salah satu alternatif
bagaimana jalur pendidikan berperan aktif memberdayakan masyarakat agar bisa
hidup dalam toleransi yang penuh kedamaian seperti yang diamanatkan dalam
konstitusi.
Ada tiga cara mendidik anak didik generasi kedepan
tentang bagaimana memahamkan akan hidup harmoni bersama dengan minoritas:
Pertama, tahap PAHAM, pada tahapan ini guru sebagai
sang pendidik harus mempu memahamkan kepada peserta didik akan beragamnya
keyakinan, dalam bahasa sederhana jangankan sesama penyembah Allah dan berkita
suci Al Quran seperti Syiah dan Ahmadiyah, yang menganggap nabi Isa sebagai
tuhan serta yang politheistik (bertuhankan banyak) pun, mereka berhak untuk
memiliki keyakinan dan hidup bebas di Indonesia
Kedua, tahap BEBAS, harus dimengerti bahwa dalam
setiap agama, kepercayaan/keyakinan pasti ada bentuk ibadah yang khusus
diberikan kepada tuhan mereka. Dalam Islam salah satunya dikenal dengan Shalat,
ibadah seperti ini dipastikan ada pada setiap keyakinan. Untuk itu kita harus
menghargai ibadah mereka serta memberikan kebebasan dan sekaligus kesempatan
pada pemeluknya untuk beribadah sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya.
Ketiga, tahap
DAMAI, setiap manusia/umat di bangsa ini perlu untuk hidup berdampingan
secara damai dalam kehidupan sosial mereka, tidak memperdulikan apakah mereka
beragama Islam, Kristen, Hindu, berpemahaman
Ahmadiyah, Syiah, dan seterusnya. Mereka semua butuh keluarga, teman,
tetangga yang saling empati, tolong menolong antara satu dengan lainnya. Jadi
banggalah kita bisa hidup bersama dalam toleransi dan damai dengan beragam keyakinan
dan perbedaan.
Jika anak didik kita dibekali tiga tahapan
diatas yaitu Paham akan keberagaman
dan Bebas menjalankan ibadahnya
serta hidup dalam masyarakat yang Damai,
maka konstitusi sebagai pondasi bangsa ini bukanlah utopi. Dengan demikian
memahami minoritas tidak hanya sebatas konstitusi yang membolehkan mereka hidup
di Indonesia seperti yang tercamtum dalam pasal 29 UUD 1945, namun juga perlu
disiapkan generasi yang betul-betul mempraktekan keharmonisan dalam kehidupan
bermasyarakat, dalam bahasa lain kaum minoritas hidup bersama dengan mayoritas
dalam damai. Wallaua’lam
0 komentar:
Posting Komentar