Selasa, 22 Maret 2016


Kajian akan minoritas di bangsa ini tidak pernah habisnya apalagi jika masuk keranah keyakinan sering berbuntut kerusuhan misalnya dari masalah Ahmadiyah, Syiah hingga Gafatar dan lainnya. Fenomena minoritas di Indonesia sangat banyak tidak hanya dalam kepercayaan atau keyakinan namun juga budaya diataranya suku anak dalam di Sumatera, suku Asmat di Papua, suku Dani di Wamena, suku Kubu di Jambi, bahkan juga minoritas dalam seksualitas seperti waria dan seterusnya.
Secara konstitusi minoritas berhak hidup apalagi dalam ranah keagamaan sebagaimna terungkap dalam UUD 1945 pasal 29 menegaskan akan hal itu namun secara sosial kemasyarakatan ternyata kebalikannya misalnya kejadian dengan kerusuhan yang menimpa komunitas Gafatar di Moton, Mempawah, Kalimantan Barat, demikian pula dengan Syiah di Sampang dan Bangil Jawa Timur serta yang masih terus dalam ingatan kita yang menimpa warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang Banten. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mungkin konstitusi yang identik dengan identitas suatu bangsa justru terus dan terus dilanggar oleh bangsanya sendiri. Tulisan singkat ini memberikan salah satu alternatif bagaimana jalur pendidikan berperan aktif memberdayakan masyarakat agar bisa hidup dalam toleransi yang penuh kedamaian seperti yang diamanatkan dalam konstitusi.
Ada tiga cara mendidik anak didik generasi kedepan tentang bagaimana memahamkan akan hidup harmoni bersama dengan minoritas:
Pertama, tahap PAHAM, pada tahapan ini guru sebagai sang pendidik harus mempu memahamkan kepada peserta didik akan beragamnya keyakinan, dalam bahasa sederhana jangankan sesama penyembah Allah dan berkita suci Al Quran seperti Syiah dan Ahmadiyah, yang menganggap nabi Isa sebagai tuhan serta yang politheistik (bertuhankan banyak) pun, mereka berhak untuk memiliki keyakinan dan hidup bebas di Indonesia
Kedua, tahap BEBAS, harus dimengerti bahwa dalam setiap agama, kepercayaan/keyakinan pasti ada bentuk ibadah yang khusus diberikan kepada tuhan mereka. Dalam Islam salah satunya dikenal dengan Shalat, ibadah seperti ini dipastikan ada pada setiap keyakinan. Untuk itu kita harus menghargai ibadah mereka serta memberikan kebebasan dan sekaligus kesempatan pada pemeluknya untuk beribadah sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya.
Ketiga, tahap  DAMAI, setiap manusia/umat di bangsa ini perlu untuk hidup berdampingan secara damai dalam kehidupan sosial mereka, tidak memperdulikan apakah mereka beragama Islam, Kristen, Hindu, berpemahaman  Ahmadiyah, Syiah, dan seterusnya. Mereka semua butuh keluarga, teman, tetangga yang saling empati, tolong menolong antara satu dengan lainnya. Jadi banggalah kita bisa hidup bersama dalam toleransi dan damai dengan beragam keyakinan dan perbedaan.

            Jika anak didik kita dibekali tiga tahapan diatas yaitu Paham akan keberagaman dan Bebas menjalankan ibadahnya serta hidup dalam masyarakat yang Damai, maka konstitusi sebagai pondasi bangsa ini bukanlah utopi. Dengan demikian memahami minoritas tidak hanya sebatas konstitusi yang membolehkan mereka hidup di Indonesia seperti yang tercamtum dalam pasal 29 UUD 1945, namun juga perlu disiapkan generasi yang betul-betul mempraktekan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, dalam bahasa lain kaum minoritas hidup bersama dengan mayoritas dalam damai. Wallaua’lam

0 komentar:

Posting Komentar